Jejak Warisan Pelaut Bangsa Melayu, Sebelum Diciptakannya Kompas
Konten.co.id – Sejarah mencatat bahwa seorang Ferdinand Magellan adalah orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia dalam ekpedisi mencari rempah-rempah sesuai misi yang ia terima dari Raja Charles I dari Spanyol, 20 September tahun 1519.
Dalam ekpedisinya itu, tidak banyak yang tahu bahwa Ferdinand mengarungi lautan dibantu oleh seorang berbangsa Melayu bernama Enrique de Malacca atau Henrique dalam Bahasa Portugis. Nama asli pria itu misterius, hilang dari catatan sejarah.

Keputusannya mengambil seorang anak kapal berbangsa Melayu bukan tanpa dasar, Ferdinand belajar dari idolanya yaitu Columbus yang gagal berkeliling dunia karena tidak mempunyai navigator yang benar-benar paham soal laut timur.
Helmi Effendy penulis buku “Jangan Selewengkan Sejarah Melayu” mengatakan bahwa syarat menguasai lautan timur adalah dengan mengusai dulu orang Melayu, karena bangsa Melayulah si penguasa lautan timur (Eritran Seas)
“Jika ingin menguasai lautan timur maka kuasailah orang Melayu atau berbaik dengan mereka. Inilah yang dilakukan para pelaut Arab dan Persia tetapi mengabaikan Columbus.”
Bangsa Melayu dan laut tidak dapat dipisahkan, kehidupan orang-orang Melayu pada zamannya adalah melingkup sekitar pantai, pohon kelapa, perahu dan kapal. Orang Melayu pun pada zamannya adalah pedagang, pengembara juga ahli dalam pelayaran.
Berikut catatan-catatan literasi soal kehebatan peradaban maritim bangsa Melayu :
1. “Jong Melayu dan Jong Jawa yang berbasis di Melaka sering berlayar untuk berdagang ke negeri Cina dan berdasarkan apa yang diketahuinya jong-jong Melayu dan Jawa ini patuh dengan kehendak administrator … pelabuhan Canton agar berlabuh jauh dari pantai karena Cina khawatir sebuah saja Jong Melayu ini bisa mengalahkan 20 buah kapal Cina. “ (Buku : Asia Tenggara Dalam Era Perdagangan halaman 59, kutipan Tome Pires, Suma Oriental halaman 122-123)
2. “Orang Cina juga tahu penduduk pulau sebagai pembangun dan awak kapal dan akan terlibat dalam perdagangan laut. Orang Cina sebenarnya telah belajar banyak dari mereka. Orang Melayu mulai membangun kapal yang terbuat dari ….
tikar anyaman bambu, setidaknya selama ratusan tahun SM dan selama Dinasti Han (206 SM hingga 221 SM), orang Cina menggunakan layar. ” (Buku : Maritime Souteast Asia Ke 1500: Lynda Shaffler tahun 1995)
3. Mengutip dari buku Lynda Shaffer, ia menyebut pelayar Melayu merupakan pelayar yang memiliki ilmu laut yang tinggi, berlayar melintasi lautan ribuan mil tanpa bantuan kompas atau grafik
Pelayar-pelayar melayu menggunakan angin, bintang, warna air laut, bentuk gelombang laut untuk mengetahui lokasi. Mereka dapat mengetahui posisi sebuah pulau meskipun mereka masih sekitar 30 mil dari pantai hanya dengan melihat kebiasaan burung, hewan dan tumbuhan tertentu dan juga bentuk ombak di permukaan laut.
5. “Mengingat tidak ada bukti yang dapat mengkonfirmasi keberadaan kapal besar dari wilayah lain, dapatlah disimpulkan bahwa bangsa Melayu adalah yang pertama pernah membangun kapal besar (1.000 ton ke atas) dari abad pertama Masehi. Pada abad ketiga kapal 7 tiang yang dapat diperkirakan melebihi 2.000 ton muncul dari dunia Melayu.” (Sumber: depts.washington.edu/silkroad/texts…)
6. Michael Adas berikutnya menyatakan bahwa pelaut Melayu telah tiba di pantai timur Afrika paling lambat pada abad pertama sebelum Masehi. “Ada bukti yang menunjukkan pelaut-pelaut Melayu telah menetap di pesisir Laut Merah. Dari Kepulauan mereka membawa cengkeh ke Afrika Timur dan Laut Merah. Pada sekitar tahun 400 Masehi, pelaut-pelaut Melayu telah menjelajahi jalan laut dengan mengelilingi dua sepertiga (2/3) dunia membentang dari Pulau Paskah ke Afrika Timur. (Buku : Lynda N. Shaffer. 2001. Southernization. Dlm Michael Adas (pnyt.) Agricultural and Pastoral Societies in Ancient and Classical History. Hlm 310.)
Sejarawan Kevin Reilly dalam bukunya The Human Journey: A Concise Introduction to World History menuliskan bahwa bangsa Melayu merupakan bangsa pertama di dunia yang berlayar dilautan luas.
” Orang-orang Melayu dan Melayu-Polinesia adalah bangsa pertama di dunia yang belayar di lautan luas, dan mereka berlayar jauh sebelum kompas diciptakan. Mereka mampu belayar di Lautan Pasifik yang sangat luas dengan melakukan penelitian secara cermat terhadap bintang-bintang, ombak-ombak dan gelombang lautan, bentuk-bentuk awan, pergerakan-pergerakan burung dan ikan serta tumbuhan-tumbuhan yang hidup dalam laut.
Mereka juga mampu untuk mengesan pulau-pulau sejauh 30 batu dari kedudukan mereka, mereka telah menghuni pulau-pulau dari persisiran Asia Tenggara hingga ke Pulau Paskah (Easter Island). Sebahagian dari mereka belayar ke Lautan Hindi hingga ke pesisir pantai Afrika Timur. Pelayar-pelayar Melayu juga telah menghubungkan produk-produk dari timur Afrika dan rempah-rempah dari kepulauan Nusantara ke dalam perdagangan di lautan India.” (Kevin Reilly. 2012. The Human Journey: A Concise Introduction to World History. Hlm 115)
Pelaut Nusantara
Di abad ke-9 bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik, kapal tercanggih di jamannya ini telah membawa kerajaan-kerajaan bercorak maritim mengarungi lautan lepas. Di era kerajaan Sriwijaya, Mahapahit hingga Demak dan cukup disegani dikawasan Asia.
Sejarah mencatat bahwa kerajaan Majapahit pernah menjadi Center of excellence di bidang maritim, budaya dan agama di Asia Tenggara, hingga pada akhir abad ke-15 armada dagang VOC Belanda datang ke Nusantara untuk mencari rempah rempah, kekuatan maritim Majapahit pun mulai surut. Bangsa kolonial sadar bahwa untuk menguasi Nusantara adalah dengan menguasai laut. Langkah itu menjadi langkah penting VOC untuk memulai kolonialisasi Nusantara hingga 3 abad lebih.
Penguasaan kolonial pun semakin kuat dengan politik pemecah belah dengan memisahkan pulau-pulau Nusantara dengan pengambil alihan kekuasaan pemerintahan di laut.

Pasca kemerdekaan, presiden pertama Indonesia, Soekarno sadar akan kekayaan maritim yang dimiliki Indonesia, ia kemudian menyuarakan semangat maritim indonesia.
“Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, ya! bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya, bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, Bukan!
Tetapi bangsa pelaut dalam arto kata cakrawati samudra, bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukan di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Ir. Soekarno 1953
Pudar di Era Soeharto
Sayangnya niat dan semangat visi dan misi serta strategi memanfaatkan laut sebagai sumber perekonomian bangsa yang digagas Soekarno kandas dan pudar di era Orde Baru. Orientasi pembangunan terlalu fokus ke daratan sehingga potensi kekayaan laut semakin dianak tirikan.
Pasca runtuhnya Orde Baru, semangat kemaritiman baru akan melaju dengan konsepsi benua maritim, sayangnya pemerintahan Bj Habibie sebentar, sehingga Konsepsi itu mandeg.
Namun semangat itu kembali berlanjut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Era Gusdur sebagai cikal bakal munculnya Departemen Eksplorasi Laut yang kini dikenal dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun tetap terbatas dan posisinya tidak begitu diunggulkan.
Semangat Berlanjut
Barulah pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono perwujudan paradigma kelautan muncul dengan terbitnya undang-undang tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional, untuk menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri maju dan kuat serta memprioritaskan pembangunan kelautan nasional.

Kemudian dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, banyak terobosan baru dan keseriusan saat Menteri Kelautan dan Perikanan dipegang oleh Susi Pujiastuti, diantaranya ketegasan kepada para penyelundup maupun pencuri ikan di kawasan perairan Indonesia.
Kini harga diri kemaritiman Indonesia kembali diuji saat beberapa waktu lalu China mengklaim perairan Natuna. Penyebab kembali memanasnya soal klaim di Laut Natuna itu dipicu oleh keterangan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang yang mengatakan bahwa China memiliki kedaulatan terhadap pulau Natuna dan memiliki hak-hak kedaulatan serta yudiksi atas perairan dekat Pulau Natuna.
Penulis : Sidqi Al Ghifari