Sang Legenda Hukum Baharudin Lopa, Jaksa yang ‘Kelewat’ Jujur di Indonesia
Konten.co.id – Indonesia terkenal dengan para pejabatnya yang rajin ‘nilep’ uang rakyat dan beli kendaraan mewah dari uang yang bukan miliknya. Tapi siapa sangka dibalik itu semua masih ada seorang sosok terbaik di Indonesia yang patut kita apresiasi.
Dia adalah Baharudin Lopa. Dia terkenal sebagai orang yang jujur. Bahkan kelewat jujur buat ukuran seorang jaksa.
Usut punya usut, dia pernah larang Istrinya naik mobil dinas “hanya” untuk pergi ke pasar. Dia juga menolak pemberian 10K$ AS dari teman masa kecilnya. Dia juga sering pinjam sepatu ajudannya. Sederhana banget ya?
Baharuddin Lopa sendiri adalah Jaksa Agung di era Presiden Abdurahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Karena pribadinya yang sangat sederhana dan esktrem dalam menegakkan keadilan serta berbagai macam kasus korupsi, Gusdur pun mempercayainya memegang jabatan strategis itu.
Lopa lahir di Balanipa, Polewali Mandar pada tahun 1935. Sosok Lopa memang berbeda dengan kebanyakan pejabat yang kita kenal.
Saat menjabat menjadi Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan, Lopa menulis di Surat Kabar; “Jangan berikan uang kepada para jaksa. Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apa pun alasannya!”
Di usianya yang baru 23 tahun dan statusnya masih Mahasiswa hukum di Universitas Hasanuddin, Lopa diminta menjadi Jaksa di Kajari Makassar. Dua tahun di sana, prestasinya di bidang hukum cukup baik, beliau lalu menjadi Bupati Majene di usia yang masih muda yaitu 25 tahun.
Di usia yang begitu muda ia sudah ditugaskan untuk menyelesaikan berbagai macam kasus hukum yang terjadi di Majene kala itu.
Saat itu, ada seorang penguasa perang asal Mandar bernama Andi Selle. Andi Selle adalah Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena terlibat kasus penyelundupan kopra.
Lopa pernah ditawarkan uang untuk mendukung bisnis Selle. Lopa kemudian mengatakan; “Kebijakan pemerintah itu harus yang terbaik bagi rakyat, bukan untuk kepentingan penguasa,” ucapnya. Setelah mengucapkan itu, kehidupan Lopa mulai terusik. Nyawanya sering diancam untuk dibunuh.
Selle kemudian mengajak Lopa untuk adu tembak, tapi Lopa menolaknya. Setelah menolak ajakan duel tersebut, tiap hari Selle selalu meneror Loppa. Ia mengatakan kalau Loppa akan diculik dan diinterogasi.
Beruntung, saat itu Kapten dari satuan Kepolisian bernama Andi Dadi melindungi nyawa Lopa. Setelah menjadi Bupati, ia kembali menjadi Jaksa di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Irian Barat sebelum menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Ternate.
“Ketika di Ternate, Lopa pernah diberikan satu truk durian. Ia menolak dan menyuruh mobil itu kembali,” ucap Andi Hamzah Guru Besar Universitas Trisakti.
Lopa juga dikenang oleh teman temannya sebagai pribadi yang religius. Ia tidak pernah mengenal pergi ke Mall, hanya ke Pasar. Bahkan di Hari Raya, ia selalu menolak pemberian parcel dari siapa pun, meski itu teman dekatnya.
Lopa takut pemberian itu suatu saat akan dikasuskan. Kasus terbesar yang ditangani Lopa ialah kasus korupsi Soeharto.
Saat itu ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa selalu menanyakan kemajuan proses perkara ini kepada teman temannya di Kejaksaan Agung. Soeharto sering dipanggil, tapi selalu absen dengan alasan sakit.
Meski begitu, ia berhasil meringkus salah satu sahabat Soeharto yakni Bob Hasan. Seorang pengusaha bisnis kayu dan mantan Menteri Perindustrian. Lopa berhasil memasukkan Bob ke dalam LP Nusakambangan. Meski saat itu, Soeharto sedang memimpin dan Lopa bisa saja terancam.
Lopa juga pernah memidanakan salah satu Tokoh Tionghoa Makassar bernama Tony Gozal. Tony pernah terlibat kasus dugaan manipulasi dana reboisasi tahun 1982.
Namun sial bagi Lopa, sebelum menyelesaikan kasus, Lopa dimutasi dengan cuma menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman thn 1986.
Setelah kejadian itu, Soeharto tahu betul pergerakan Lopa akan membahayakan kekuasaanya. Maka dari tahun 1988 hingga 1995, Lopa hanya ditugaskan sebagai Direktur Jenderal Lembaga Permasyarakatan, sehingga Lopa tidak disibukkan lagi dalam mengusut kasus hukum.
Lopa mengatakan, ia selalu terinspirasi dari kisah Ketua Adat di daerahnya dulu yang berani menghukum anaknya sendiri atas nama keadilan. Akhir tahun 1930 di Balangnipa, seorang pemuda terlibat pembunuhan.
Menurut hukum adat, nasib pemuda ini bisa ditentukan oleh 7 pemuka adat. Enam pemuka adat setuju memberi keringanan untuk anak Ketua Adat yang terlibat pembunuhan ini. Namun sang Ketua Adat sendiri yang tidak setuju dan anak ini pun dihukum mati.
Cerita yang tak kalah hebat dari Ratu Sima yang memotong kaki anaknya sendiri atas nama hukum. Lopa terinspirasi.
Kisah unik pun pernah hadir dari mulut Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla. JK yang saat itu masih menjadi pebisnis mobil mengaku pernah ditelpon Lopa.
Lopa mengatakan ingin membeli sedan kelas satu. JK kemudian menawarkan mobil Toyota Crown seharga 100 juta saat itu. Tapi Lopa menolak.
JK kemudian menawarkan mobil Cressida seharga 60 juta. Lopa kembali menolak.
JK lalu menawarkan Corona dengan cuma-cuma kepada Lopa (yang saat itu harganya 30 juta), tapi Lopa menolak. JK menawarkan membeli dengan 5 juta saja, Lopa masih menolak.
Lopa kemudian meminta Corona 30 juta dengan sistem menyicil. Bukan karena tidak punya uang, ia hanya ingin hidup sederhana.
Ada satu kisah menarik lain datang dari Enang salah satu ajudan Lopa. Ia mengatakan, pernah suatu hari Loppa ingin menghadiri salah satu kegiatan besar.
Namun saat itu, ia lupa membawa sepatu dan kaus kaki karena hanya memakai sandal. Lopa kemudian meminjam sepatu dan kaus kaki milik Enang untuk pergi ke acara tersebut.
Kehebatan Lopa lainnya adalah saat era Presiden Habibie, ia didukung untuk menjadi anggota Komnas HAM RI tahun 1999. Namun saat lengser dari jabatan itu, diketahui beliau memiliki masalah kesehatan di jantungnya. Padahal saat menjabat Jaksa Agung, Lopa sedang mengusut 7 masalah korupsi besar.
Tanggal 28 Juni 2001, Lopa beserta Istri melaksanakan Umrah pada 26 Juni setelah sebelumnya serah terima jabatan dengan Kedubes RI untuk Saudi. Tanggal 29 Juni, Lopa terganggu fisiknya dan esoknya beliau dilarikan ke Rumah sakit jam 13.00 waktu setempat setelah mual- mual hebat.
Pada malam harinya di Istana Negara, sebelum mendapat kabar bahwa Lopa akan meninggal, Gus Dur menangis semalaman dan mengurung diri di kamar. Tidak ada yang tahu sebabnya, termasuk anak-anaknya.
Gusdur kemudian berucap: “Malam ini, salah satu tiang langit bumi Indonesia telah runtuh,” Benar saja pada pukul 11 malam, Istana mendapat kabar dari Saudi bahwa Lopa telah tiada.
Ini menunjukkan kejernihan hati Gus Dur bisa menangkap sebuah kejadian luar biasa yang belum terjadi. Kabar wafatnya Lopa 3 jam lebih awal diterima Gus Dur daripada berita duka tersebut.
Almarhum Jaksa Agung Baharuddin Lopa kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, tepat pukul 09.15 WIB, 6 Juli 2001. Upacara pemakaman sendiri dipimpin oleh inspektur upacara Menko Polsoskam Jendral (Purn.) Agum Gumelar dengan dihadiri oleh Gus Dur.
Tuhan lebih sayang kepada sang Jaksa Agung. Sang legenda ini pergi tatkala rakyat membutuhkan keberaniannya.
Lopa telah menetapkan standar yang tinggi bagi para Jaksa dalam menegakkan keadilan. Dia mewariskan keberanian penegakan hukum tanpa melihat siapa dan apa orang tersebut. (*)
Penulis : Ade Indra